Matahari bersinar terik siang itu ketika saya turun di halte Nagasaki Eki Mae, salah satu yang paling sibuk di jalur trem Nagasaki Electric Tramway Line 1. Dari sana, saya mulai berjalan santai, menyusuri trotoar kota yang ramai, menyeberangi zebra cross, lalu berbelok ke kanan saat jalan mulai menanjak menuju Bukit Nishizaka.
Petunjuk arah yang jelas di setiap persimpangan membuat perjalanan kaki terasa ringan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya tiba di sebuah taman yang cukup lapang. Di hadapan saya berdiri papan besar bertuliskan “Twenty-Six Martyrs Museum”, lengkap dengan huruf Jepang dan Korea.
Di kejauhan, sebuah gereja putih berdiri di puncak bukit. Arsitekturnya modern, dengan dua menara menjulang yang tampak seperti sepasang tangan sedang berdoa, dihiasi mosaik berkilauan. Gereja itu tampak bersahaja namun anggun, berpadu dengan lanskap berbukit khas Nagasaki yang dipenuhi rumah-rumah bertingkat.
Saya sempat beristirahat di dekat papan informasi taman Nishizaka, di mana tersedia keran air minum (insuisen)—cukup menyegarkan setelah berjalan kaki di bawah panas matahari Agustus. Di papan itu, terdapat peta lengkap kawasan ini, mulai dari monumen, museum, hingga gereja yang dalam bahasa Jepang disebut Nihon Nijūroku Seijin Kinen Seidō (日本二十六聖人記念聖堂), atau dalam bahasa Inggris lebih dikenal sebagai St. Philip’s Church, atau Church of the Twenty-Six Martyrs of Japan.
Papan informasi itu juga memuat ringkasan sejarah singkat, yang mengungkapkan bab kelam dalam sejarah Jepang: penindasan terhadap umat Katolik pada akhir abad ke-16. Taman ini ditetapkan sebagai tempat ziarah resmi oleh Vatikan pada 1956, dan pada 1962, Monumen dan Museum 26 Martir dibangun untuk mengenang mereka yang telah gugur.
Saya melangkah lebih dekat ke arah monumen utama, yang berdiri megah di tengah taman. Monumen ini didirikan untuk mengenang dua puluh enam orang Kristen—terdiri dari misionaris Jesuit asal Eropa dan warga Jepang—yang disalibkan pada tahun 1597 oleh pemerintahan Jepang sebagai bagian dari gelombang persekusi terhadap agama Kristen.
Monumen ini berbentuk dinding granit putih yang lebar dan kokoh. Di bagian tengahnya terdapat relief perunggu besar berbentuk salib. Di kedua sisinya, berjejer 26 figur syuhada dalam posisi berdiri, seolah mengabadikan momen terakhir mereka. Wajah-wajah mereka menatap ke langit, penuh keteguhan. Beberapa masih sangat muda—dua di antaranya bahkan anak-anak altar. Yang paling dikenal adalah Paulus Miki, seorang Yesuit Jepang yang tetap berkhotbah dari salib, bahkan ketika tombak menembus tubuhnya.
Nama-nama mereka diukir rapi dalam aksara Latin dan Jepang: Francisco Blanco, biarawan asal Spanyol; Cosmas Takeya, seorang tukang besi Jepang yang dibaptis; serta Luis Ibaraki, bocah 12 tahun yang wafat sambil menyanyikan Mazmur. Kehadiran mereka terasa begitu nyata di tempat ini—seperti menyaksikan keteguhan iman berdiri di hadapan kita.
Tempat ini bukan sekadar taman. Ini adalah titik akhir dari perjalanan menyakitkan mereka—ratusan kilometer berjalan kaki dari Kyoto ke Nagasaki, dalam cuaca musim dingin. Telinga mereka dipotong sebagai peringatan, tapi langkah mereka tak surut. Mereka menyanyikan Te Deum, kidung pujian kepada Tuhan, dalam perjalanan menuju kematian.
Di sisi monumen, terdapat prasasti granit hitam bertuliskan huruf emas dalam bahasa Portugis dan Jepang: mengenang Pater Luis Frois S.J., rohaniawan Jesuit asal Lisboa yang meninggal di Nagasaki pada 1597. Ia adalah tokoh penting yang mencatat perjumpaan antara Eropa dan Jepang pada masa itu.
Tak jauh dari sana, prasasti marmer putih memperingati kunjungan dua paus ke tempat ini: Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1981, dan Paus Fransiskus pada 2019. Keduanya datang bukan untuk meresmikan apa-apa, tapi untuk berdoa, diam, dan memberi penghormatan. Bayangkan, dua pemimpin tertinggi Gereja Katolik, menempuh ribuan kilometer dari Vatikan, hanya untuk berdiri sejenak di bukit sunyi ini.
Di bagian belakang taman, terdapat tugu kecil untuk mengenang kunjungan Paus Yohanes Paulus II. Di atasnya tertulis kutipan yang ia ucapkan pada kunjungan 26 Februari 1981:
“Love is stronger than death.”
(Cinta lebih kuat daripada maut.)
Masih di pelataran yang sama, berdiri patung seorang pria mengenakan barong putih khas Filipina dan celana panjang hitam. Ia adalah Santo Lorenzo Ruiz, martir asal Filipina yang dihukum mati di tempat ini pada tahun 1637. Di bawah patungnya terukir kalimat terakhir yang ia ucapkan:
“I would rather die a thousand deaths than renounce my faith.”
(Aku lebih rela mati seribu kali daripada menyangkal imanku.)
Meski berasal dari masa dan latar yang berbeda, kata-kata Lorenzo Ruiz terasa sepenuhnya tepat di tempat ini—di mana darah ditumpahkan demi keyakinan.
Saya kembali melangkah, kali ini menuju gereja putih yang berdiri di puncak bukit. Namanya sesuai dengan tempat ini: Gereja 26 Martir. Bangunannya tidak besar, tetapi terasa sakral. Di bagian dalam, kaca patri memantulkan cahaya lembut ke arah altar. Di dinding belakang, tergantung salib kayu dan lukisan para martir yang dihormati.
Di samping gereja, terdapat museum kecil namun kaya informasi. Di dalamnya dipamerkan peninggalan-peninggalan kekristenan Jepang dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Salah satu yang paling menggugah adalah fumi-e, lempeng bergambar Kristus yang dipaksa diinjak oleh umat Kristen untuk membuktikan bahwa mereka telah murtad.
Selain itu ada rosario tersembunyi, salib mini, dan simbol-simbol keimanan dari komunitas Kakure Kirishitan—umat Kristen yang hidup dalam persembunyian selama masa persekusi berlangsung berabad-abad lamanya.
Namun yang paling menyentuh adalah salinan surat St. Fransiskus Xaverius, misionaris pertama yang menginjakkan kaki di Jepang pada 1549. Ia tidak menyaksikan akhir tragis para martir di Nishizaka, namun benih iman yang ia tabur tumbuh menjadi kesaksian darah yang tak terhapus oleh waktu.
Sebelum meninggalkan tempat ini, saya sempat membaca sebuah kutipan dalam bahasa Latin di bagian atas monumen utama:
“Laudate omnes gentes, laudate Dominum”
(Pujilah Tuhan, hai segala bangsa.)
Lirik mazmur ini mungkin adalah nyanyian terakhir para martir saat mereka menatap langit dari atas salib. Bukan nyanyian kemenangan, tapi pujian yang tak dapat dipadamkan oleh penderitaan, salib, atau tombak. Di tengah dunia yang kerap melemahkan makna iman, pujian mereka tetap bergema—halus, tapi mendalam.
Menuruni Bukit, Membawa Kisah
Saya melangkah turun kembali menuju Stasiun Nagasaki. Seperti biasa, perjalanan pulang terasa lebih cepat. Tapi kali ini langkah saya terasa berat. Mungkin karena kisah yang saya bawa masih bergelayut. Mungkin karena hati saya masih tertinggal di atas sana—di antara salib dan nama-nama yang kini terasa lebih hidup dibandingkan kita yang masih bernapas.
Sebelum naik trem, saya menoleh sekali lagi ke arah bukit. Matahari senja mulai meredup. Ada keheningan yang tak bisa dijelaskan, tapi juga kehangatan yang tak ingin hilang.
Di zaman ketika iman sering kali dikompromikan demi kenyamanan, kisah Dua Puluh Enam Martir Nagasaki menjadi pengingat yang tajam: bahwa keyakinan bukan sekadar ritual, melainkan keberanian. Keberanian yang mungkin tak selalu menang, tapi selalu setia.