Indonesia baru saja mengenal kereta cepat. Jakarta–Bandung resmi diuji coba pada September 2023 lalu, masih sebatas gratis bagi penumpang terbatas. Di tanah air, kereta cepat terasa seperti lompatan masa depan. Namun di Uzbekistan, kereta cepat bukan lagi barang baru. Sejak 2011, mereka sudah punya Afrosiyob, kereta Talgo buatan Spanyol yang melaju hingga 250 km/jam, membelah jalur lebih dari 600 kilometer antara Tashkent, Samarkand, dan Bukhara, ditambah cabang ke Karshi.
Perjalanan kami hari itu dimulai dari Bandara Tashkent. Setelah sejenak beristirahat di sebuah bistro kecil di Jalan Babur—Bistro Bek, namanya—kami melanjutkan langkah ke Tashkent Vokzal, stasiun utama yang juga dikenal dengan sebutan Tashkent Shimoly (Tashkent Utara). Di kota ini memang ada dua stasiun besar: Shimoly di utara dan Yuzny di selatan.
Kami berangkat menuju Samarkand dengan Afrosiyob No. 776, jadwal pukul 08.24, singgah sebentar di Samarkand pukul 10.44. Karena terlalu bersemangat, pukul tujuh pagi kami sudah tiba di depan stasiun. Masih ada waktu longgar untuk menikmati suasana.
Bangunan utama stasiun berdiri megah, bergaya arsitektur dengan sentuhan Persia dan Turki yang memikat. Di atas gedung tertulis “Toshkent Vokzal Toshkent”—ejaan “Toshkent” memang khas Uzbek, bukan “Tashkent” seperti yang biasa kita dengar. Tepat di depan stasiun, hamparan taman bunga warna-warni menyambut, lengkap dengan air mancur yang cantik. Rasanya lebih seperti berada di kebun raya daripada stasiun kereta, kalau saja tak ada tumpukan koper di dekat kami.
Tak jauh dari gerbang stasiun juga terdapat pintu masuk Tashkent Metro, kebanggaan kota ini sejak era Soviet. Tashkent adalah kota pertama di Asia Tengah yang memiliki jaringan metro, dan stasiun-stasiunnya terkenal indah. Stasiun metro yang berhubungan langsung dengan Tashkent Vokzal kebetulan juga bernama Stasiun Tashkent, berada di jalur Ozbekiston Line berwarna biru muda di peta.
Sekitar sejam sebelum keberangkatan, kami masuk ke area stasiun. Pemeriksaan keamanan mirip bandara: tiket, paspor, dan barang melewati X-ray. Hanya saja, jika penumpang membludak, pemeriksaan tiket dan paspor bisa longgar. Beberapa rekan kami bahkan lolos tanpa dicek.
Tiket Afrosiyob berupa e-ticket yang dicetak dalam tiga bahasa: Uzbek (Elektron Chipta), Rusia (Elektronniy Bilyet), dan Inggris (Electronic Ticket). Informasi lengkap tertera: nama penumpang, nomor paspor, kelas, nomor wagon, tempat duduk, kode SID (duduk), harga tiket, jadwal, hingga aturan refund.
Ruang tunggunya cukup nyaman, dengan toko suvenir, kafe, dan kios kecil. Saya hanya membeli sebotol air mineral seharga 3.000 sum—sekitar Rp4.000, meski lebih mahal dibanding di luar stasiun, tetap terasa terjangkau.
Menjelang keberangkatan, kereta sudah siap di peron. Pramugari dan pramugara berdiri menyambut, ramah sekaligus gagah. Kami sempat berfoto sebentar di depan lokomotif berlogo Uzbekistan Railways, berhias tulisan “Afrosiyob”. Rombongan terbagi: sebagian besar di wagon 3, sementara saya dan istri duduk di wagon berbeda karena tiket baru didapat sehari sebelumnya. Itupun perjuangan, sebab di musim ramai (Agustus–Oktober) tiket cepat ludes terjual.
Harga tiket Tashkent–Samarkand tercatat 105.000 sum, atau sekitar Rp133.000—sungguh murah untuk perjalanan hampir 300 kilometer dalam waktu 2 jam. Tiket bisa dibeli online lewat situs resmi Uzbekistan Railway sejak 45 hari sebelum keberangkatan. Ada juga jatah tiket yang kembali dijual 5 hari sebelum hari H. Kalau lewat agen wisata, harganya bisa melonjak dua kali lipat.
Pukul 08.24 tepat, kereta bergerak meninggalkan Tashkent. Di dalam, layar digital menampilkan kecepatan. Awalnya 80–100 km/jam di sekitar kota, kemudian naik jadi 130–150 km/jam, dan di lintasan lurus mencapai 230 km/jam. Meski tak menyentuh 250, tetap terasa mulus dan cepat.
Beberapa pramugari membagikan snack—roti dengan kemasan bergambar Afrosiyob. Gerbong restorasi tersedia bagi yang ingin makan lebih serius. Suasana di dalam tenang; kursi nyaman dengan konfigurasi dua-dua. Sejumlah keluarga lokal duduk di sekitar kami, anak-anak kecil mereka menjadi hiburan tersendiri sepanjang perjalanan.
Tak terasa dua jam lebih berlalu. Stasiun Samarkand menyambut dengan bangunan megah, lebih besar dan lebih indah daripada Tashkent. Dari sinilah perjalanan kami menembus garis batas kota bersejarah itu dimulai.
Dan soal nama Afrosiyob, menurut Daniyor—pemandu kami di Samarkand—ada dua versi. Pertama, Afrosiyob adalah nama seorang raja sekaligus penyihir dalam legenda Persia kuno. Kedua, nama ini merujuk pada situs bersejarah di utara Samarkand, bekas pemukiman sejak 500 tahun sebelum Masehi hingga abad ke-13, sebelum pasukan Mongol datang dan meluluhlantakkan kota.
Seperti kereta yang menembus rel panjang, perjalanan hidup juga selalu penuh kejutan. Kadang kita terjebak di ruang tunggu, kadang berlari mengejar tiket yang hampir habis, kadang duduk nyaman di kursi dua-dua sambil disuguhi pemandangan gurun. Semua adalah bagian dari perjalanan itu sendiri.
Naik Afrosiyob di Uzbekistan mengingatkan saya bahwa modernitas bisa berjalan berdampingan dengan sejarah, dengan harga yang sangat manusiawi. Bayangkan, hanya Rp133 ribu untuk menembus 300 kilometer dalam 2 jam—sesuatu yang di negara kita masih terdengar seperti mimpi baru kemarin sore.
Dan Samarkand, kota seribu cerita itu, sudah menanti di depan mata.