Setelah berhenti sejenak di hotel untuk menyimpan barang-barang dan berganti pakaian, rombongan kami langsung berangkat kembali dengan kendaraan yang sama menuju pusat kota Samarkand. Tujuan pertama adalah Patung Amir Timur yang terletak di kawasan University Boulevard atau Universiteti Xiyoboni.
Kawasan ini sekilas terlihat luas, dengan taman-taman yang nyaman berhiaskan air mancur serta pepohonan rindang yang mengapit jalan raya lebar. Sekilas mirip kawasan Monas, hanya saja tanpa tugu Monas, jalan silang, maupun gedung-gedung tinggi di sekelilingnya. Sesuai namanya, di kawasan ini juga berdiri banyak universitas ternama di Samarkand, termasuk kampus tempat Daniyor—pemandu kami—menuntut ilmu, yaitu Samarkand State Medical University.
Kawasan University Boulevard yang dibangun pada akhir abad ke-19 di masa Kekaisaran Rusia ini menjadi batas antara kota lama dan kota baru yang dibangun oleh Rusia.
“Harap jangan meninggalkan barang-barang di kendaraan ini, karena selanjutnya kita akan berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum,” demikian penjelasan Daniyor ketika kendaraan kami berhenti di tepi jalan.
Di kejauhan tampak kubah megah Gur-e-Amir, kompleks mausoleum Amir Timur—sang penguasa Kekaisaran Timurid yang menjadikan Samarkand sebagai ibu kota sejak abad ke-14. Namun, tujuan pertama kami siang itu bukan ke mausoleum tersebut, melainkan sowan atau “minta izin” untuk memasuki kota Samarkand dengan menyambangi patung sang penguasa yang berdiri di tengah taman di persimpangan jalan raya yang lebar dan ramai.
Beramai-ramai kami menyeberangi jalan raya mengikuti lampu lalu lintas. Pengendara di Samarkand cukup disiplin dan menghormati pejalan kaki, meski cara mereka mengemudi sering membuat jantung berdebar—terutama ketika berbelok sambil menekan rem hingga menimbulkan suara deritan yang khas. Suara yang sama ini kerap menemani perjalanan kami di kota yang dulu dikenal sebagai permata Jalur Sutra. Jalan raya yang lebar, deretan kendaraan Chevrolet berwarna putih, dan derit rem seolah mengucapkan: selamat datang di singgasana Amir Timur.
Namun, siapakah Amir Timur?
Dalam pelajaran sejarah dunia sewaktu di sekolah menengah dulu, hanya sedikit yang diajarkan tentang Timur Leng, nama lain Amir Timur, yang lebih dikenal karena kekejamannya dalam merebut dan memperluas wilayah kekuasaan di Asia Tengah. Kala itu, bahkan negeri bernama Uzbekistan sendiri belum ada, karena masih menjadi bagian dari Uni Soviet yang maha luas.
Di sinilah saya belajar lebih banyak, secara langsung dan rinci, mengenai Amir Timur dan Kekaisaran Timurid—yang ternyata menjadi leluhur para raja Dinasti Mughal di India, termasuk Shah Jahan, sang pembangun Taj Mahal.
Dengan lancar Daniyor berkisah tentang asal-usul Amir Timur yang kini dijadikan ikon pahlawan Uzbekistan. Ia dikenang sebagai penakluk besar Asia Tengah, yang kekuasaannya meliputi wilayah dari India, Laut Tengah, hingga Eropa.
Timur, yang di Barat dikenal dengan nama Tamerlane (dari Timur Leng, berarti “Timur Si Pincang”), berasal dari suku campuran Turki dan Mongol. Ia memulai karier militernya di bawah salah satu keturunan Genghis Khan, yaitu Chagatai, di wilayah Transoxiana—kawasan yang kini meliputi Uzbekistan dan sekitarnya.
Sekitar tahun 1360-an, Timur berhasil merebut kekuasaan dan perlahan memperluas wilayahnya. Pada akhir abad ke-14, berdirilah Kekaisaran Timurid dengan Samarkand sebagai pusatnya.
Dikisahkan juga bahwa Timur memiliki salah seorang istri yang terkenal bernama Bibi Khanum, seorang wanita berdarah Tiongkok atau Mongol. Amir Timur sendiri meninggal dunia pada tahun 1405, dalam perjalanannya untuk menaklukkan Tiongkok. Ia wafat di Otrar, sebuah kota kecil yang kini terletak di dekat Chimkent, Kazakhstan—sekitar 500 kilometer dari Samarkand—dan kemudian dimakamkan di Mausoleum Gur-e-Amir yang tadi tampak di kejauhan.
Mendengarkan kisah Amir Timur membuat kita lebih bijak dalam memahami sejarah. Sosok yang sama bisa dikenang sebagai pahlawan, penakluk, sekaligus penjahat, tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Hanya ada garis tipis yang memisahkan antara “pahlawan dan pengkhianat”, “penakluk dan pembebas.”
“Di Uzbekistan ada tiga patung Amir Timur,” kata Daniyor menambahkan dengan manis.
“Satu di Samarkand, satu di Tashkent, dan satu lagi di Shahrisabz, kota kelahirannya.”
Daniyor juga menjelaskan makna dari masing-masing patung itu. Patung di Shahrisabz menggambarkan Amir Timur berdiri tegak, melambangkan kelahiran dan kebangkitannya. Patung di Tashkent, yang berdiri di Amir Timur Square, memperlihatkan sang penakluk menunggang kuda. Sedangkan patung di Samarkand, tempat kami berdiri sekarang, menggambarkannya duduk di singgasana—simbol masa kejayaannya. Patung di Samarkand inilah yang ukurannya paling besar dan paling megah.
Kami mendekati patung itu dan mengagumi keperkasaannya. Tubuh kami tampak mungil di hadapannya. Amir Timur tampak gagah, bermahkota, duduk di singgasana dengan pedang di sisi kirinya. Siang itu kebetulan tak banyak pengunjung di sekitar taman. Selain dihiasi bunga-bunga warna-warni, ada pula air mancur kecil yang menambah kesejukan suasana.
Kami berfoto bersama di depan patung sambil mengucapkan salam kepada Amir Timur—seolah minta izin untuk berkelana di ibu kota kekuasaannya selama beberapa hari ke depan.
Menurut Daniyor, tempat ini—seperti juga patung Amir Timur di Shahrisabz dan Tashkent—sering dijadikan lokasi foto pra-nikah bagi pasangan muda Uzbekistan. Ia bahkan bercanda,
“Siapa tahu, bagi yang masih jomblo, berfoto di depan patung Amir Timur ini bisa mempercepat datangnya jodoh!”
Mendengar itu, kami tertawa. Namun di balik tawa, saya teringat pada buku Garis Batas karya Agustinus Wibowo, yang pernah saya baca. Mas Agus menulis bahwa garis-garis batas negara di Asia Tengah yang ada sekarang ini tidak mutlak, karena ditarik oleh penguasa Soviet di masa lalu.
Itulah sebabnya Kazakhstan mengklaim Turkistan sebagai warisan peradabannya, sementara Tajikistan masih meratapi kejayaan Samarkand dan Bukhara—dua kota yang kini berada di Uzbekistan—karena dianggap sebagai bagian dari warisan Ismail Somoni.
Garis batas yang diciptakan di era Soviet itu terasa makin relevan ketika kita berdiri di dalamnya. Di Samarkand, pusat kejayaan Amir Timur, semua perbatasan terasa kabur oleh aura sejarah.
Kini, di depan patung sang penakluk agung, kita seakan masih berada di bawah bayang-bayang Amir Timur, bersama warisan bangunan megah yang ia tinggalkan untuk dunia.
Selamat datang di Samarkand.