Langkah saya pagi itu bermula dari sisi selatan Malioboro. Udara Yogyakarta terasa hangat, sinar matahari memantul dari bangunan-bangunan tua di sepanjang jalan, padahal jam baru menunjukkan beberapa detik sebelum pukul 10 pagi. Tanpa sengaja saya masuk ke Pasar Beringharjo dan sejenak meresapi suasananya. Ramai, namun justru menghadirkan kesenangan dan ketenangan tersendiri bagi saya.
Tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa sebentar lagi akan dinyanyikan lagu Indonesia Raya dan semua diminta berdiri. Wah, tradisi unik yang hanya bisa saya temui di Yogya.
Seusai lagu kebangsaan, saya menyeberang jalan dan melihat salah satu bangunan favorit saya di Yogya: Hamzah Batik. Setiap kali melewati kawasan ini, saya selalu mampir, seakan sudah jadi ritual wajib. Trotoar yang kini lebih lebar terasa ramah untuk pejalan kaki. Tukang becak, derap andong, dan suara pengamen berpadu menjadi orkestra jalanan yang tak pernah benar-benar selesai.
Di berandanya, empat lelaki berseragam lurik dan berblangkon duduk bersila, memainkan siter, kendang, gong kecil, dan suling. Gamelan sederhana itu mengalun pelan, menciptakan atmosfer teduh di tengah hiruk pikuk Malioboro. Saya menurunkan langkah, lalu duduk di kursi panjang di beranda. Di depan para penabuh gamelan, sebuah kotak apresiasi berhias kain batik diletakkan, dengan secarik kertas bertuliskan “Kotak Apresiasi”. Tanpa pretensi, tanpa paksaan. Musik itu membuat saya merasa Hamzah Batik bukan sekadar toko, melainkan ruang peralihan: dari dunia jalanan yang gaduh menuju ruang batin yang lebih hening.
Saya masuk ke dalam. Aroma dupa langsung menyambut, menuntun langkah seolah melewati lorong waktu. Asap tipis dari wadah tanah liat berisi bara arang membungkus patung kayu Loro Blonyo yang duduk anggun, seakan menyambut tamu tak kasatmata. Di sampingnya, nampan kuningan dan kotak kayu lapuk menyimpan jejak ritual: bubuk hitam di cangkir kecil, abu di periuk, arang yang masih hangat. Semua itu seakan hidup, bukan benda mati, melainkan saksi doa-doa yang pernah terucap dalam senyap.
Namun pandangan saya tertumbuk pada sebuah foto berisi doa dalam bahasa Jawa lengkap dengan terjemahannya:
“Niyat ingsun ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggondo arum pinongko tali rasaningsun manembah dumateng Gusti Kang Akaryo Jagad.”
Terjemahannya sederhana: Aku berniat membakar dupa, asapnya membumbung ke angkasa, berasa harum sebagai tali yang mengikat rasaku untuk menyembah Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Mungkin bagi sebagian orang itu hanya rangkaian kata simbolik. Bagi saya, doa itu adalah undangan hening. Di tengah riuh Malioboro, tiba-tiba ada ruang yang mengajarkan untuk berhenti, menarik napas, dan menautkan batin kepada Yang Maha Ada.
Saya melangkah lebih dalam. Di bagian tengah, mata saya tertuju pada sebuah piagam: penghargaan pengangkatan Hamzah Sulaeman sebagai Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanoyo Hamijinindyo oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Piagam berbahasa Jawa itu dipajang rapi, dikeluarkan di Ngayogyakarta Hadiningrat pada 07 Dulkaidah 1947 Jawa, bertepatan dengan 2 September 2014 Masehi.
Saya berdiri lama di depan piagam itu. Rasanya luar biasa: seorang Hamzah Sulaeman mendapat gelar bangsawan Jawa. Itu bukan sekadar penghargaan pribadi, melainkan simbol perjumpaan lintas identitas. Hamzah menunjukkan bahwa cinta budaya bisa menjembatani segalanya. Ia Tionghoa, sekaligus Jawa. Ia Hamzah, sekaligus Raminten—tokoh perempuan tua dalam ketoprak komedi, sekaligus pengusaha yang membumikan batik dan kuliner tradisional.
Lalu saya menuju sudut favorit: warung jamu. Harganya hanya Rp3.000. Murah meriah, tapi rasanya lebih dari sekadar minuman. Seorang perempuan berkebaya sederhana dengan rambut tersanggul menuang cairan kuning dari botol kaca. Jamu kunyit asam, beras kencur, wedang uwuh—apa saja yang tersedia hari itu. Saya memilih beras kencur. Dengan wadah tempurung kelapa, ia mengaduk lalu menyajikan sambil tersenyum tulus.
Saya menyeruput pelan. Hangatnya menjalar dari lidah hingga ke perut. Di luar, Malioboro masih riuh. Di dalam, hati saya tenang. Duduk dengan segelas jamu, saya memperhatikan manekin berbatik, lampion gantung, wayang, dan ornamen yang seakan bercerita. Hamzah Batik memang lebih dari sekadar toko; ia seperti museum hidup budaya Jawa.
Kadang saya berbelanja: baju batik, T-shirt khas Raminten, atau kerajinan kecil untuk oleh-oleh. Namun bahkan tanpa belanja, singgah sejenak sudah cukup berharga.
Beberapa bulan lalu saya sempat ke lantai atas, menikmati makan siang di Raminten 3, atau menonton kabaret Raminten yang nyentrik. Ada kesinambungan yang terasa: dari gamelan dan dupa di Hamzah Batik, berlanjut ke kabaret modern penuh humor Jawa. Semua itu memperlihatkan betapa cairnya jejak Raminten dalam lanskap budaya Yogya.
Dan akhirnya, saya teringat sosok Hamzah Sulaeman. Ia lahir 7 Januari 1950. Masa mudanya penuh warna: kuliah Biologi di UGM yang tak selesai, lalu melanjutkan di Sanata Dharma. Pernah bekerja di kapal pesiar, tinggal tiga tahun di Amerika, sebelum akhirnya pulang saat ayahnya sakit untuk mengelola usaha Mirota. Dari situlah lahir Hamzah Batik, yang kemudian menjelma ikon.
Dari panggung ketoprak, ia menciptakan sosok Raminten. Nama itu melekat, tidak hanya di panggung, tapi juga di restoran dan cabang kulinernya: The House of Raminten, The Waroeng of Raminten, Raminten 3. Semua berbalut humor, tradisi, sekaligus kesakralan.
Hamzah wafat pada 23 April 2018, di usia 68 tahun. Namun jejaknya tak pernah benar-benar hilang. Setiap gamelan di beranda Hamzah Batik, setiap dupa yang mengepul, setiap piagam yang dipajang—semuanya adalah cara Yogyakarta menjaga kenangannya.
Bagi saya pribadi, setiap kali berjalan dari selatan Malioboro, melewati Pasar Beringharjo, lalu singgah di Hamzah Batik, rasanya seperti mengulangi ritual kecil. Ritual yang tak hanya melepas lelah, tapi juga memberi ruang bagi hati untuk berdoa, mendengar, melihat, dan belajar: bahwa hidup bukan sekadar membeli, melainkan menghargai. Menghargai gamelan sederhana, dupa yang mengepul, jamu hangat, dan seorang manusia yang berhasil menjembatani dua dunia sekaligus: Hamzah Sulaeman dan Raminten yang legendaris.
“Perbedaan orang kurus dan orang gemuk hanya pada makannya saja. Yang kurus makan hati, yang gemuk makan tempat.” — Hamzah Sulaeman (Raminten)