Kalau ditanya sudah berapa kali saya berkunjung ke Makau, jujur jawabnya saya tidak tahu. Saya hanya tahu jumlahnya kalah banyak dibanding perjalanan saya ke Hongkong, Brunei, atau Singapura. Saya pernah tiba dengan feri, jetfoil, helikopter, dan tentu saja yang paling ekonomis—bus melalui Hongkong–Zhuhai–Macau Bridge yang kini menjadi ikon baru kawasan Delta Sungai Mutiara.
Namun meskipun sudah puluhan kali ke sana, saya selalu merasa Makau bukan kota yang bisa “habis” dikunjungi. Kota ini seperti buku memoar yang hanya memberi satu bab setiap kedatangan. Kadang babnya pendek; kadang panjang; kadang ia membuka halaman baru tanpa permisi. Karena itu saya tidak pernah merasa kunjungan saya berulang, meski sering melalui jalan yang sama.
Kali ini saya kembali menginap di Holiday Inn Express Macau City Centre, yang berada di Avenida do Dr. Rodrigo Rodrigues—nama panjang yang lama-lama terdengar akrab seperti nama tetangga sendiri. Saya pernah melihat jalan ini dalam matahari pagi, ketika kaca-kaca hotel memantulkan cahaya keemasan; saya juga pernah melintasinya dalam langit kelabu yang membuat kota terasa seperti potongan film dokumenter berbahasa Portugis.
Avenida Rodrigues adalah halaman pertama yang memudahkan langkah saya setiap kali memulai hari. Dari sini saya berjalan ke halte bus di Rua de Pequim, yang dulu pernah saya lewati kala menginap di Holiday Inn versi lama—yang tidak pakai Express.
Menuju Kota Lama
Saya masih ingat sebuah sore sekitar sepuluh tahun lalu, ketika menyusuri Rua de Pequim. Nama-nama seperti Pequim (Peking/Beijing), Xangai (Shanghai), Cantão (Guangzhou), Kunming, dan Xiamen terasa seperti daftar kota Tiongkok yang dipindahkan begitu saja menjadi nama jalan.
Di sisi lain kawasan NAPE, ada pula jalan-jalan dengan nama kota Eropa: Rua de Berlim, Paris, Bruxelas, Roma, dan Londres. Lalu jika kita bergerak ke blok lain, kita menemukan daftar kota Portugal seperti Sintra, Santarém, Porto, dan Braga. Makau memang senang sekali bermain teka-teki geografi.
Dalam satu kunjungan, setelah menyeberangi Alameda Dr. Carlos d’Assumpção, saya duduk sebentar di Jardim Comendador Ho Yin. Paginya lembut, teduh, dan taman itu seperti pintu kecil yang menghubungkan Makau modern dengan Makau lama.
Di hari lain, saya lewat kembali Rua de Kunming, tempat sebuah papan jalan yang pernah saya foto beberapa tahun lalu. Entah kenapa setiap melihat papan itu, saya merasa sedang menandai waktu—bahwa saya pernah muda di jalan itu, dan kini kembali sedikit lebih tua, namun perasaan heran saya pada kota ini tidak berubah.
Suasana Sekitar Grand Lisboa & Casino Lisboa
Jika saya belok kiri dari Hotel menuju pusat kota, maka saya akan menyusuri Avenida Rodrigo Rodrigues ke arah Hotel Lisboa. Bangunan tua ini selalu memancing nostalgia—apalagi saya pernah melihatnya pada akhir 1980-an, ketika Lisboa adalah hotel paling mewah di Makau.
Tidak jauh dari situ berdiri Grand Lisboa, kasino raksasa berbentuk mahkota emas raksasa yang flamboyan. Pada malam hari lampunya menyala seperti bunga api permanen. Mobil taksi biru-putih berseliweran, bus shuttle kasino datang dan pergi, dan suara mesin pendingin gedung bertemu dengan musik dari kasino.
Di antara bangunan modern ini, jaringan jalan Portugis tetap bertahan.
Nama Jalan di Sekitar Grand Lisboa
Di sini semua “jenis jalan” khas Portugis bisa ditemukan:
1. Avenida de Lisboa
Alamat Grand Lisboa. Jalan besar, ramai, penuh kendaraan.
2. Avenida da Amizade
Nama yang cantik—“Jalan Persahabatan”.
Di masa kolonial, jalan ini bernama Estrada de Oliveira Salazar, pemimpin kediktatoran Estado Novo Portugal (sejenis “Orde Baru”-nya Portugal). Setelah penyerahan Makau ke Tiongkok tahun 1999, namanya diubah menjadi Avenida da Amizade sebagai simbol hubungan Portugal–Tiongkok yang baru.
Jalan ini memanjang di sisi timur Lisboa menuju Wynn, StarWorld, MGM, dan area pelabuhan luar.
3. Avenida do Infante D. Henrique
Jika berjalan ke sisi selatan Lisboa, kita tiba di jalan ini. Ia mengarah ke wilayah NAPE — Novos Aterros do Porto Exterior, zona reklamasi baru yang menjadi “Makau modern”.
(NAPE ini sering dibandingkan dengan reklamasi Jakarta, hanya saja di Makau adem-adem saja.)
4. Travessa — Gang Penghubung
Di belakang Hotel Lisboa ada lorong kecil seperti Travessa dos Anjos yang menyambungkan Rua do Campo dengan Rua de Pedro Nolasco da Silva. Makau juga memiliki istilah Beco untuk jalan buntu seperti Beco de São Francisco.
5. Estrada — Jalan Panjang Berbukit
Saat menuju Masjid Makau, saya pernah melewati Estrada do Reservatório, salah satu Estrada yang berkelok mengikuti kontur bukit.
Travessa, Calçada, dan Kota Lama
Setiap kunjungan saya hampir selalu berakhir di kota tua. Di dekat Largo do Senado, saya masuk ke Travessa de S. Domingos, gang tenang yang seperti lorong waktu. Hanya beberapa langkah, kita langsung berpindah dari Makau modern ke Makau kolonial.
Dan tentu saja, saya selalu menyusuri Avenida de Almeida Ribeiro—warga menyebutnya San Ma Lo. Ini adalah nadi kehidupan kota: bus, toko emas, apotek, restoran, semua bertumpuk seperti orkestra yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah saya sering naik ke ikon kota:
Ruínas de São Paulo — Fasad yang Tidak Pernah Sepi
Saya mungkin sudah belasan kali menaiki tangga menuju Ruínas de São Paulo, namun tiap kali melihat fasad itu, rasanya selalu baru.
Pernah penuh turis, pernah juga sepi dan berangin. Pada sore tertentu cahaya jatuh tepat di ukiran singa, bunga kamelia, inskripsi Latin dan Mandarin, dan membuatnya tampak seperti kitab terbuka.
Di bawah Gereja St. Paul inilah saya turun ke arah kota melalui jalan favorit saya:
Rua Cinco de Outubro & Restoran Halal Loulan
Nama Cinco de Outubro menarik—suatu tanggal penting dalam sejarah Portugal. Di sepanjang jalan ini ada toko-toko, kelenteng kecil, dan tentu saja Loulan Islam Restaurant, tempat saya mencicipi masakan Xinjiang: daging sapi lembut, aroma cumin, mie panjang yang menggoda.
Saya pernah mampir sore hari. Pernah juga malam hari. Kadang ramai, kadang sepi. Loulan selalu menjadi bagian dari ritus perjalanan saya.
Perjalanan Menuju Masjid — Estrada da Vitória
Pada kunjungan lain yang lebih tenang, saya menanjak lewat Estrada da Vitória menuju Masjid Macau dan pemakaman Islam di lereng bukit.
Estrada ini seperti jeda dari riuh kota—pepohonan rimbun dan udara bukit menenangkan.
Di halaman masjid, terutama setelah salat Jumat, jemaah biasanya mengantre makanan biryani yang harum dan lezat. Suasananya hangat, akrab, dan membuat saya sering berdiri lama hanya untuk menyerap serpihan kehidupan Makau yang sering luput dari para turis kasino.
Kembali ke Avenida Rodrigues
Apa pun yang saya lakukan hari itu—berkunjung ke Rua de Pequim, Travessa S. Domingos, San Ma Lo, São Paulo, Cinco de Outubro, Loulan, atau Estrada da Vitória—langkah saya selalu kembali ke Avenida Rodrigues, tempat hotel saya berada. Lampu malam menyala lembut, dan halaman baru dari “buku Makau” pun ditutup.
Makau bukan kota yang diingat sekaligus—ia kota yang dikunjungi berkali-kali.
Dan justru di situlah keindahannya.
Penutup: Calçada — Mosaik Hitam Putih Kota Ini
Terakhir, ada satu jenis jalan lain yang wajib disebut: Calçada—lorong kecil berbatu mosaik. Yang paling terkenal adalah Calçada de São Paulo yang menanjak menuju Ruínas de São Paulo. Batu-batu hitam-putih yang tersusun seperti gelombang ini adalah bagian dari Calçada Portuguesa, seni paving jalan khas Portugal yang juga muncul di Largo de Senado.
Warna hitam-putihnya tidak hanya indah, tapi juga menandai perlintasan sejarah dua budaya yang bertemu di Makau.
Dan mungkin itu sebabnya saya tidak pernah bosan datang kembali.
Makau selalu berubah, tapi tetap dirinya sendiri — sebuah kota kecil yang menyimpan dunia yang besar.



