NEW!

Incredible offer for our exclusive subscribers!

Readmore

NEW!

Incredible offer for our exclusive subscribers!

Readmore

Menyusuri Pura Pakualaman: Antara Jejak Sejarah dan Janji Sabtu Kliwon

Siang itu, matahari Yogyakarta jatuh tegak di atas kepala ketika mobil kami berhenti tepat di depan pagar besar yang tertutup rapat. Pura Pakualaman, istana kecil yang berdiri tenang di jantung kota, seakan sedang menjaga jarak dengan hiruk pikuk jalanan.

Dari balik pagar, tampak beberapa abdi dalem berjaga dengan tenang, seakan bagian dari pemandangan itu sejak berabad-abad lalu. Saya turun, mendekat, dan menyampaikan niat untuk berkunjung. Dengan bahasa halus penuh tata krama, salah seorang abdi dalem, sebut saja Pak Joko,  menginformasikan bahwa parkir mobil di halaman samping. . Kendaraan diarahkan berbelok ke kiri, lalu ke kanan, hingga akhirnya menemukan lahan parkir cukup luas, masih di kompleks Pakualaman ini.

Mobil diparkir, dan kami kembali ke pintu gerbang Masjid Besar Pakualaman. Pintu ini berwarna putih dengan atap limasan kecil khas arsitektur Jawa, di bagian atas tertulis jelas “Masjid Besar Pakualaman”. Tepat di tengah atap terdapat lambang Pakualaman dengan huruf emas “P A” serta hiasan sayap dan mahkota.

persis di tengah gerbang pintu masuk berbunyi “terus luhur terusto raharjo” atau dalam Bahasa Indonesia artinya jalan luruh menuju kesejahteraan.

Sejak masa awal Pakualaman, masjid memang menjadi bagian penting dari tatanan istana, menyatukan spiritualitas dan kekuasaan dalam satu ruang harmoni.

Sejenak, saya berhenti di depan pintu gerbang dan mengamati hiasan dan tulisan yang ada.  Pada pedimen atau bidang segitiga şubata pintu terdapat inskripsi angka tahun “7-8-1884” (masa pemerintahan Paku Alam V) dan pada sisi bawahnya terdapat tulisan berhuruf Jawa yang berbunyi: “wiwara kusuma winayang reka”. Pada permukaan bagian pedimen tersebut terdapat hiasan flora yang simetris dalam bentuk segitiga. Di kedua sisi terdapat tulisan besar PA dan X yang menandakan bahwa yang sedang bertahta di pura ini adalah Pakualam X.

Melewati pintu gerbang, kami masuk dan menulis nama di buku tamu. Tepat di sisi pintu masuk ada papan ucapan selamat datang bertuliskan “Sugeng Rawuh” dengan ilustrasi dua abdi dalem dalam busana Jawa. Dari celah pintu terlihat halaman dalam yang rapi dan luas, dengan pepohonan, taman hijau, serta sebuah pendopo besar beratap joglo di kejauhan. Ucapan “Sugeng rawuh” ini terasa sederhana tapi hangat, seakan menegaskan bahwa Pura Pakualaman bukan sekadar tempat bangsawan, tapi juga rumah bagi siapa pun yang datang dengan niat baik.

Gerbang Utama: Regol Danawara

Pak Joko kembali dengan hangat mengucapkan selamat datang di Pura Pakualaman.  Saya kembali memandang gerbang utama dari bagian dalam.

“Nama gerbang ini  Regol Danawara,” ujar Pak Joko lagi sambil menjelaskan  makna angka “7-8-1884” yang saya lihat di depan. Itu adalah tanda masa pemerintahan Paku Alam V, yang menata ulang banyak bagian istana. Jalur masuk selebar hampir 15 meter itu seperti mulut raksasa yang mengantar ke dalam dunia berbeda. Sambil berjalan perlahan, saya melihat kembali  gerbang yang seakan menjadi simbol kewibawaan kadipaten kecil yang lahir pada tahun 1813 ini.

Saya sempat menanyakan sejarah masjid besar yang saya lihat tadi dan Pak Joko bercerita bahwa Masjid Besar Puro Pakualaman tersebut dibangun  pada tahun 1831 M oleh Sri Paduka Paku Alam II. Arsitektur dan tata letak masjid ini sangat erat kaitannya dengan filsafat macapat dalam kosmologi Jawa. Filsafat macapat dimaknai sebagai empat unsur kehidupan atau makna dalam kehidupan.

Termasuk elemen arah, yaitu Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Sedangkan, untuk arsitektur bangunan masjid ini, tak lepas dari gaya bangunan Puro Pakualaman dengan dominasi warna kuning.

Gedhong Parangkarsa.

Kami berfoto dengan latar belakang bangunan bangunan cantik di Pura Pakualaman.  Pertama-tama kami menuju ke bangunan di sisi barat yang bernama Gedhong Parangkarsa.

Atapnya berupa genting berbentuk pelana dengan ujung atap sisi barat terhubung dengan bangunan keliling dan ujung atap sisi timur terhubung dengan atap gedung di sebelahnya yaitu Bangsal sewatama. Bangunan ini pernah difungsikan sebagai tempat persiapan perkawinan putra dan putri Paku Alam serta digunakan untuk menginap tamu. Pada sisi utara bangunan, terdapat bangsal berupa ruangan khusus tempat untuk menyiapkan makanan (bujana). 

Pendapa Agung: Bangsal Sewatama

Bangunan di sebelah nya adalah Bangsal Sewatama, pendapa besar tempat upacara resmi dan penerimaan tamu. Ukurannya nyaris empat puluh kali tiga puluh meter, dengan empat puluh tiang kayu yang menyangga atap limasan berlapis tiga. Lantai marmernya memantulkan cahaya redup, membuat suasana terasa agung tapi tidak berlebihan. Di sisi bangsal ini terdapat ruang-ruang tambahan seperti Kamar Cina dan Gedhong Srikaya, yang dulu dipakai untuk keperluan khusus. Demikian Pak Joko menjelaskan dengan bahasa Indonesia sesekali bercampur bahasa Jawa.

Saya membayangkan bagaimana suasana kala prajurit berjajar, gamelan ditabuh, dan tamu-tamu duduk menyimak sabda seorang adipati. bahkan Pak Joko juga menjelaskan siapa saja yang duduk di setiap tingkat lantai bangsal ini sesuai dengan tingkatan mereka.

Gedhong Purwaretna

Di sebelah timur, berdiri megah Gedhong Purwaretna, yang dibangun pada masa Paku Alam VII dengan bantuan Paku Buwono X. Fasadnya bergaya Indis, dihiasi kaca warna dengan motif flora dan geometri. Bangunan ini pernah menjadi tempat peristirahatan, menyatukan nuansa Jawa dengan sentuhan modern abad ke-19.

Dalem Ageng Prabasuyasa

Pak Joko juga bercerita bahwa Inti dari Pura Pakualaman adalah Dalem Ageng Prabasuyasa, tempat kediaman sekaligus pusat pusaka. Ruangan senthong—tengah, barat, dan timur—menyimpan aura mistis yang sulit dijelaskan. Di sinilah pusaka-pusaka leluhur dirawat, dan ruang-ruang lain dipakai sebagai kamar istirahat, kamar busana, dan ruang penyimpanan. Sayang pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke tempat ini. Dari luar, Dalem Ageng tampak tenang, tapi siapa pun bisa merasakan bahwa dinding-dindingnya menyimpan cerita panjang, dari masa kolonial hingga republik.

Bangsal Sewarengga dan Gandhok

Di utara Dalem Ageng, berdiri Bangsal Sewarengga, berbentuk joglo apitan dengan kamar-kamar di sisi timur dan barat. Sementara itu, Gandhok Kulon dan Wetan menjadi tempat tinggal menantu dan permaisuri Paku Alam. Atap limasannya sederhana, namun emper kelilingnya menghadirkan kesan rumah besar yang ramah.

Gedhong Maerakaca

Tak kalah menarik, Gedhong Maerakaca menjulang dua lantai dengan arsitektur hasil rancangan van der Beek. Lantai atasnya menjadi ruang santai, sementara dindingnya dihiasi kaca berwarna ala Indis. Dari sini, mungkin para penghuni Pura dahulu memandang ke luar, menyaksikan perubahan kota Yogyakarta dari waktu ke waktu.

Gandok Keliling dan Halaman Belakang

Kami kembali berjalan menuju regol atau gerbang utama sambil melihat ke sekeliling .Seluruh kompleks ini dilingkupi oleh Bangunan Keliling, tembok dan gandok yang bukan sekadar pagar, melainkan juga ruang tinggal dan fungsi tambahan.

Menurut Pak Joko, Di bagian belakang, terdapat halaman luas yang dahulu dipakai sebagai tempat latihan Legiun Pakualaman, pasukan kecil yang setia pada adipati. Luasnya hampir satu hektar, kini terasa lengang, tapi jejak kaki para prajurit masih seakan terpatri di tanah.

Jejak Sejarah dan Pemugaran

Sejak resmi didirikan pada 17 Maret 1813 oleh KGPAA Paku Alam I, Pura ini mengalami banyak fase pembangunan dan perbaikan. Gempa, pergantian kepemimpinan, hingga kebutuhan baru membuat wajah Pura terus berubah. Masa Paku Alam II ditandai pembangunan masjid dan gedhong persada, Paku Alam IV memperbaiki kerusakan akibat gempa, Paku Alam V menambah bangunan, sementara Paku Alam VII membangun Gedhong Purwaretna dan Maerakaca. Pemugaran modern pun dilakukan sejak 2013 hingga 2021, menjaga bangunan tetap berdiri kokoh sekaligus ramah dikunjungi.

Di salah satu sisi bangunan keliling, ada ruangan yang dijadikan museum Pura Pakualaman, sayang museum ini sedang direnovasi sehingga kami tidak bisa melihat isinya.

Masih di halaman pura ini terdapat dua buah sumur dicat warna putih yang simetris dan identik.  Yang di sisi timur dinamakan Sumur Putri.  Airnya masih mengalir dan digunakan hingga sekarang dan konon memiliki banyak khasiat, diantaranya dapat membuat awet muda bagi siapa saja yang mencuci muka. Sementara sumur yang di sisi barat bermata Sumur Jaler.  Konon  mata air ini digunakan  untuk siraman bagi putra putri Kraton dalam upacara pernikahan .

Dari dalam saya kembali memandang regol Danawara sambil menikmati pemandangan halaman dalam Pura Pakualaman yang rapi dan luas. Dari sisi dalam ini, kita bisa melihat jalan setapak lurus berlapis batu putih menuju gerbang utama yang sebelumnya tampak dari luar. Jalan itu diapit taman hijau, pepohonan, dan pot-pot besar yang ditata dengan simetris. Di sisi kanan-kiri, bangunan panjang beratap merah berjajar, memberi kesan tertib sekaligus menegaskan gaya arsitektur tradisional Jawa yang berpadu dengan sentuhan kolonial.

Suasana yang tergambar adalah ketenangan sekaligus keteraturan—ruang terbuka lapang, rapi, dan bersih, seolah menegaskan bahwa Pura ini bukan hanya kediaman bangsawan, melainkan juga simbol dari harmoni Jawa: cetha, resik, tertata.

Menanti Sabtu Kliwon

Setelah puas berkeliling, kami bersiap pulang. Namun, sebelum meninggalkan kompleks,  abdi dalem Pak Joko berpesan halus: “Mampir meneh, nggih, tanggal 20, Sabtu Kliwon. Wonten ganti prajurit.” Saya terdiam sejenak. Undangan itu sederhana, tapi mengandung makna.

Upacara ganti prajurit bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari denyut nadi Pakualaman yang terus hidup di tengah zaman serba cepat.

Upacara Ganti Dwaja ini dilaksanakan  setiap Sabtu Kliwon atau setiap 35 hari sekali menurut kalender Jawa.

“Ganti Dwaja” berarti pergantian tugas prajurit penjaga pura, yaitu dua kelompok prajurit: Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir.

Prosesi utamanya adalah serah terima dwaja (bendera kesatuan) dari prajurit yang sedang bertugas kepada prajurit yang gantian.

Upacara ini juga diramaikan dengan kirab pasukan, atraksi budaya, dan dilaksanakan di Kagungan Dalem Pakualaman/Alun-Alun Sewandanan Pakualaman. 

Sabtu Kliwon, 20 September 2025, akan menjadi hari istimewa. Di alun-alun kecil, prajurit berjajar dengan seragam khas, panji-panji diganti, dan musik tradisional mengiringi prosesi. Saya membayangkan suasananya: elegan, khidmat, namun juga terbuka untuk siapa saja yang ingin menyaksikan. Seperti pesan yang saya baca di buku tamu: Sugeng rawuh.

Pura Pakualaman, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan bahwa sejarah bukan hanya benda mati. Ia bernafas lewat bangunan, prajurit, abdi dalem, dan bahkan tamu-tamu yang datang. Dan pada Sabtu Kliwon nanti, sejarah itu akan kembali bergerak, melintasi waktu, menyapa siapa pun yang hadir.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Create a new perspective on life

Your Ads Here (365 x 270 area)
Latest News
Categories

Subscribe our newsletter

Purus ut praesent facilisi dictumst sollicitudin cubilia ridiculus.