“Setiap langkah kaki di negeri asing adalah doa yang mencari rumah, dan setiap masjid yang ditemukan adalah jawaban kecil dari doa itu.”
Hari itu, matahari Santiago menyala terang, mengantarkan siang yang begitu hangat di ibukota Chile. Jarum jam tangan menunjukkan pukul satu siang ketika walking tour saya berakhir di depan Museo Nacional de Bellas Artes. Perut lapar sebenarnya mulai menuntut haknya, tetapi hati saya lebih dulu menuntut janji: ini hari Jumat, dan saya harus mencari masjid.
Masjid di Santiago tidaklah banyak. Bahkan, kabarnya hanya ada satu masjid yang benar-benar mengadakan salat Jumat secara rutin. Namanya Mezquita As-Salam. Lokasinya tidak terlalu jauh, di kawasan Ñuñoa, di persimpangan jalan Chile España dan Campoamor.
Perjalanan dengan Metro
Saya melangkah masuk ke stasiun metro Bellas Artes, yang terletak tepat di bawah tanah kota tua Santiago. Hiruk pikuk penduduk Santiago, wisatawan , anak muda dengan headphone, dan ibu-ibu yang membawa tas belanjaan menemani langkah saya.
Berbekal tiket Tarjeta Bip berwarna biru, saya masuk ke jalur Line 5 yang berwarna hijau muda. Metro di Santiago modern, bersih, dan cukup teratur. Dari Bellas Artes saya menuju ke arah Vicente Valdés. Suara roda besi bergesekan dengan rel memantul di terowongan, sementara jendela memperlihatkan sekilas mural-mural warna-warni khas kota Santiago di beberapa stasiun.
Sesampainya di stasiun Irarrazaval, saya berpindah ke jalur Line 3 yang berwarna coklat. Tujuannya: Fernando Castillo Velasco, ujung jalur ini. Saya turun di Chile España.
Begitu keluar dari perut bumi, langit Santiago membentang biru tanpa awan. Dari stasiun, saya bisa memilih naik bus “Metropolitana de Movilidad,” tetapi peta di aplikasi memperlihatkan jarak ke masjid hanya sekitar 600 meter. Saya putuskan untuk berjalan kaki dengan santai.
Menyusuri Jalan Chile España
Jalan Chile España adalah jalan lebar dengan trotoar yang nyaman untuk pejalan kaki. Pohon-pohon besar tumbuh di sisi jalan, memberi teduh di antara gedung-gedung apartemen modern. Sesekali terlihat kafe kecil dengan kursi kayu di luar, aroma kopi dan roti panggang terbang bersama angin musim panas.
Saya berjalan sekitar lima menit, hingga dari kejauhan tampak kubah emas berkilau terkena sinar matahari. Hati saya bergetar. Di tengah kota Santiago yang jauh dari tanah kelahiran Islam, berdiri sebuah masjid yang megah, tidak kalah dengan masjid di Bogota yang saya kunjung Jumat lalu.
Kubah itu memantulkan cahaya keemasan, sementara menaranya tegak di sudut bangunan, bagai mercusuar kecil yang memberi arah.
Tiba di Masjid
Halaman masjid dikelilingi pagar besi hijau tua, di bawahnya berdiri tembok bercat krem. Beberapa pohon kurma tumbuh di dalamnya — ada yang tinggi menjulang, ada juga yang masih pendek. Saya berhenti sejenak di trotoar, memandang fasad masjid. Bentuknya unik, oktagonal, tidak seperti masjid pada umumnya. Jendela-jendela besar berbentuk relung setengah lingkaran menghiasi lantai atas, seakan mengundang cahaya masuk.
Saya harus berbelok ke kiri di persimpangan Campoamor untuk menemukan pintu masuk. Nama jalan itu terpampang jelas di papan biru: Campo Amor — “Kampung Cinta”. Nama yang puitis untuk sebuah rumah ibadah.
Bertemu Satpam
Begitu melewati pintu gerbang, seorang satpam berseragam biru tua menghampiri. Wajahnya ramah, usianya sekitar tiga puluhan. Saya menyapanya:
Buenos Dias Señor,
— “¿A qué hora comienza la oración del viernes?”
(Kapan salat Jumat dimulai?)
Ia tersenyum, menjawab singkat:
— “A las dos.”
(Pukul dua.)
Saya sedikit terkejut. Waktu zuhur di Santiago sekitar pukul satu siang, tetapi di sini khotbah Jumat dimulai pukul dua. Mungkin memberi kesempatan jamaah datang dari berbagai penjuru kota, karena hanya di masjid ini salat Jumat dilaksanakan.
Satpam itu lalu menunjukkan tempat wudhu di lantai bawah. Saya menuruni tangga, mencuci wajah dengan air dingin yang menyegarkan, lalu kembali naik ke ruang utama.
Suasana Dalam Masjid
Ruang utama masjid terasa lapang. Karpet hijau empuk dengan garis-garis kuning membentang rapi, membagi saf-saf. Cahaya alami masuk dari jendela-jendela besar, membuat ruangan terang dan hangat.
Mihrab tampak sederhana, hanya sebuah lengkung kecil tanpa ornamen berlebih. Di sampingnya, mimbar kayu dengan ukiran bintang bersudut delapan berdiri anggun. Tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 75 sentimeter, tetapi cukup menampung khotib untuk menyampaikan khutbahnya.
Saya melihat sekitar sepuluh orang jamaah sudah duduk di saf depan, sebagian berdiskusi dengan seorang lelaki bergamis putih. Sisanya duduk santai di saf belakang, ada yang bersandar pada dinding. Jam tangan saya menunjukkan pukul 13.40, masih ada waktu sebelum khotbah.
Saya mendongak ke arah kubah. Tepat di bawahnya, jendela kaca melingkar memancarkan cahaya alami. Sebuah lampu gantung cantik menggantung di tengah, menambah nuansa sakral.
Kian Ramai, Kian Berwarna
Pelan-pelan jamaah bertambah. Wajah-wajah Timur Tengah mendominasi: keturunan Lebanon, Suriah, Palestina, juga Turki. Ada juga beberapa wajah Latin dan tentu sudah membedakan apakah Chile, Argentina atau Kolombia, dan satu dua wajah Asia Tenggara. Saya sempat menduga mereka adalah staf kedutaan dari Indonesia atau Malaysia. Sayang saya tidak sempat mengobrol dengan mereka karena ketika solat Jumat selesai, mereka sudah tidak terlihat di dalam masjid, mungkin harus segera kembali ke kantor.
Menjelang pukul dua, saf sudah terisi empat baris — sekitar 200 orang jamaah. Jumlah yang tidak besar, tapi mengingat komunitas muslim di Chile hanya sekitar lima ribu orang, ini sudah cukup ramai. Salat Jumat minggu lalu di Bogotá bahkan lebih sepi.
Khotbah dan Salat
Seorang imam muda, usia sekitar tiga puluh lima, naik ke mimbar. Ia mengenakan jubah putih sederhana. Suaranya lantang, khutbahnya dalam bahasa Spanyol, sesekali menyelipkan ayat dalam bahasa Arab.
Saya tidak memahami seluruh isi khutbah, tapi saya bisa merasakan getaran semangat dan iman yang ia sampaikan. Kata “hermandad” (persaudaraan) dan “paz” (perdamaian) berulang kali terdengar.
Salat Jumat berlangsung khusyuk. Empat saf penuh membungkuk dan bersujud dalam kesatuan gerak, di sebuah negeri di ujung selatan dunia.
Setelah Salat
Usai salat, saya menyempatkan diri melihat bagian belakang masjid. Ada lantai mezzanin untuk jamaah perempuan, berpagar coklat keemasan, ditopang hanya oleh dua tiang hijau. Tidak terlalu luas, tapi cukup untuk memberi ruang ibadah khusus bagi muslimah.
Saat hendak keluar, saya bertemu imam dan sempat bersalaman. Saya memberanikan diri berbicara:
— “Gracias, imam. Es un honor orar aquí.”
(Terima kasih, imam. Sungguh kehormatan bisa salat di sini.)
Ia tersenyum dan menjawab lembut:
— “Bienvenido, hermano. Que Allah te bendiga. Aquí somos pocos, pero somos una familia de fe.”
(Selamat datang, saudaraku. Semoga Allah memberkahimu. Di sini kami sedikit, tapi kami adalah keluarga dalam iman.)
Saya membalas dengan bahasa Arab sederhana: “Shukran, imam.”
Sejarah Mezquita As-Salam
Masjid ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah tonggak sejarah. Pembangunan dimulai pada tahun 1986 oleh komunitas muslim Chile yang mayoritas keturunan Arab. Arsitek William Tapia Chuaqui merancangnya dengan bentuk oktagonal yang unik.
Masjid selesai dibangun tahun 1989, dan secara resmi diresmikan sekitar 1995, dalam sebuah acara yang dihadiri oleh pangeran Malaysia. Sejak itu, Mezquita As-Salam menjadi masjid pertama di Chile, sekaligus pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Selain di Santiago, ada juga Masjid di Iqueque dan Cocquimbo. Masjid ini dikelola oleh Centro Islamico de Chile.
Jumlah muslim di Chile memang sedikit, sekitar lima ribu jiwa dari 19 juta penduduk. Mayoritas berasal dari imigran Lebanon, Suriah, Palestina, yang datang sejak abad ke-19. Namun meski kecil, komunitas ini tetap menjaga api iman agar tetap menyala.
Menutup Perjalanan di Kampung Cinta
Saat melangkah keluar, saya melihat tulisan di dinding: Mezquita As-Salam — tertera dalam huruf Arab dan Latin. Angin musim panas berhembus ringan, dan saya tersadar betapa istimewanya pengalaman ini.
Nama jalan Campoamor atau “Kampung Cinta” seakan menjadi simbol: cinta Tuhan, cinta sesama manusia, cinta tanah perantauan yang menerima keberagaman.
Saya meninggalkan masjid dengan hati yang hangat, sama hangatnya dengan cahaya emas yang masih memantul dari kubah di langit Ñuñoa.
Di setiap kota, selalu ada rumah kecil yang membuat seorang muslim merasa pulang. Di Santiago, rumah itu bernama As-Salam, sang Damai, di Kampung Cinta.