Siang itu, matahari menyinari jalanan Nagasaki dengan lembut, meski udara cukup menyengat khas awal Agustus. Dari hotel yang tidak jauh dari Oura Cathedral, saya memulai perjalanan dengan berjalan kaki menuju halte trem. Langkah kaki membawa saya bukan hanya menuju sebuah tempat, tetapi juga menelusuri kembali jejak sejarah yang menggetarkan: Museum Bom Atom dan Peace Park Nagasaki.
Kami sudah menyiapkan tiket trem sehari penuh dan peta kota—modal sederhana yang sangat membantu menjelajahi kota ini. Dari halte Oura Cathedral, saya naik trem Nagasaki Denki no. 5 ke arah Hotarujaya, kemudian pindah ke trem no. 1 yang menuju Akasako. Rute ini melewati pusat kota dan stasiun shinkansen tempat kami tiba sebelumnya. Tak berapa lama, kami tiba di halte Atomic Bomb Museum, yang menandakan langkah kami makin dekat ke tujuan utama.
Dari halte, jalan kaki beberapa ratus meter menuntun kami mendaki sedikit. Meski tak terlalu jauh, jalan yang menanjak ditambah panas matahari membuat napas sedikit tersengal. Sepanjang jalan, suasana cukup sepi, hanya sesekali kendaraan melintas. Di kiri-kanan berdiri bangunan tua, sunyi tapi menyimpan aura tersendiri.
Sampai di sebuah pertigaan, saya berhenti sejenak di depan patung perunggu bergaya agak eksotis, seperti patung Mesir kuno. Setelah saya dekati, ternyata itu adalah Vision of Peace, simbol persahabatan antara kota Nagasaki dan St. Paul, Minnesota, Amerika Serikat—dua kota yang telah menjadi sister city sejak 1955. Patung itu berdiri diam, seakan mengawasi mereka yang melintasi lorong-lorong kenangan menuju museum.
Tak jauh dari situ, kami sampai di sebuah kompleks luas dengan halaman terbuka. Di sanalah berdiri bangunan Nagasaki National Peace Memorial Hall for Atomic Bomb Victims, sebuah nama yang sudah cukup membuat dada terasa berat. Di halamannya, patung berwarna emas menggambarkan seorang pria bersama empat anak-anak dan burung-burung merpati—ikon perdamaian yang seolah mengajak siapa pun yang datang untuk merenung. Suasana hening, bahkan langkah kaki pun terasa nyaring.
Pintu masuk ke museum berada di sisi kiri. Begitu melangkah ke dalam, semburan udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapa—kontras dengan panas di luar. Di dekat pintu masuk terdapat vending machine yang menjual minuman dingin. Saya membeli jus seharga 130 Yen. Sambil menikmati kesegarannya, saya sempat berpikir—di Jepang, harga-harga vending machine ternyata cukup stabil. Tiga dekade lalu, harganya tak jauh berbeda.
Satu hal yang menyentuh hati: kursi roda tersedia di dekat pintu masuk dan bisa digunakan siapa saja dengan asas kepercayaan. Tak ada yang menjaga, tak ada formulir—cukup ambil dan pakai. Sebuah sistem yang memperlihatkan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pengunjungnya.
Kami lalu memasuki lorong di sisi kiri dan naik lift ke lantai atas, tempat lobi dan loket tiket berada. Tiket masuk museum hanya seharga 200 Yen. Begitu memasuki ruang pamer pertama, suasana berubah drastis. Dari terang di luar, kami masuk ke dalam ruangan temaram yang menebarkan aura muram dan reflektif.
Di dinding depan, terpampang pesan dalam bahasa Jepang dan sepuluh bahasa internasional lainnya—Inggris, Korea, Cina, Prancis, Rusia, Arab, Portugis, Belanda, Spanyol, dan Jerman. Satu kalimat itu menghantam perasaan saya dengan keras:
“Nagasaki must be the last place exposed to an atomic bomb.”
Sayangnya, belum tersedia dalam bahasa Indonesia. Tapi maknanya sangat kuat: sebuah seruan agar tak ada lagi kota lain di dunia yang mengalami nasib serupa.
Saya berhenti cukup lama di depan sebuah jam dinding yang jarumnya terhenti pada pukul 11.02—waktu persis saat bom atom dijatuhkan di langit Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Menurut keterangannya, jam ini ditemukan di sebuah rumah dekat Kuil Shinto di Sakamoto-machi, sekitar 800 meter dari pusat ledakan.
Tidak jauh dari sana, saya melihat bagian dari reruntuhan Katedral Urakami, gereja Katolik terbesar di Nagasaki, yang hancur lebur akibat bom. Fakta bahwa Nagasaki adalah kota dengan populasi Katolik terbanyak di Jepang membuat saya tertegun. Ironisnya, kawasan yang dihuni komunitas damai justru menjadi sasaran kehancuran. Tapi itulah sejarah, tak selalu adil.
Di salah satu ruang utama, berdirilah replika bom atom “Fat Man”. Benda itu tampak sederhana, seperti tabung besar tanpa ekspresi. Sulit dipercaya bahwa dari tubuh besarnya yang tak seberapa rumit itulah, kehancuran luar biasa bermula. Di sini saya mengetahui bahwa bom Nagasaki mengandung Plutonium-239, berbeda dengan Uranium-235 yang digunakan di Hiroshima.
Museum ini juga menampilkan detik-detik menjelang jatuhnya bom. Ternyata, Kokura adalah target utama, namun karena awan tebal dan visibilitas buruk, pilot beralih ke Nagasaki. Keputusan singkat itu mengubah takdir sebuah kota.
Di tengah ruang, ada sebuah instalasi berbentuk piramida terbalik yang dihiasi foto-foto tokoh dunia seperti Einstein, Truman, Stalin, Churchill, dan Roosevelt—sosok-sosok yang membentuk jalannya sejarah hingga tragedi itu terjadi.
Bagian lain museum menunjukkan peta negara-negara pemilik senjata nuklir: Amerika, Rusia, Cina, Inggris, Prancis, India, Pakistan, Israel, hingga Korea Utara. Jumlah peluru kendali yang mereka miliki terpampang jelas, seperti peringatan bahwa ancaman perang nuklir masih jauh dari usai.
Saya terus berjalan dan melihat berbagai artefak korban bom—botol kaca yang meleleh, uang logam terbakar, dan barang-barang pribadi lain yang tak lagi dikenali bentuk aslinya. Ada pula ruang kesaksian para hibakusha (penyintas bom atom) yang terekam dalam suara dan video. Suara-suara yang lirih tapi penuh kekuatan itu menusuk kalbu. Mereka bukan hanya korban, mereka adalah saksi zaman.
Satu kisah yang sangat menyentuh adalah tentang Dr. Takashi Nagai, seorang dokter yang selamat namun kehilangan keluarganya. Meski tubuhnya digerogoti radiasi, ia tetap mengabdikan hidupnya untuk merawat para korban dan melakukan riset pengobatan radiasi. Ia meninggal dunia pada 1951 karena leukemia—sebuah pengorbanan sunyi yang menggetarkan jiwa.
Tanpa terasa, dua jam lebih telah berlalu. Perjalanan kami di museum harus dilanjutkan ke Peace Park, tempat yang tak kalah sarat makna. Kami kembali ke ruang depan, mengembalikan kursi roda, dan berjalan perlahan menuju halte trem. Masih banyak yang ingin dikenang dan direnungkan.



