NEW!

Incredible offer for our exclusive subscribers!

Readmore

NEW!

Incredible offer for our exclusive subscribers!

Readmore

Naik Kereta di Osaka: Mirip KRL Jabodetabek, tapi Bedanya Bikin Tercengang

(Taufik Hidayat/cgwtravel.com)

Perjalanan dengan kereta api baik JR maupun Subway/metro di Osaka dan kota kota lain di Jepang  selalu menjadi pengalaman yang menarik, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan ritme KRL Jabodetabek di Indonesia. Banyak orang beranggapan bahwa naik kereta di Jepang adalah sesuatu yang rumit, membingungkan, penuh jalur yang mirip benang kusut. Tapi setelah mencobanya, satu hal terasa jelas: ternyata sensasinya mirip dengan naik KRL di Jabodetabek. Apalagi banyak gerbong kereta di Jabodetabek yang memang tadinya digunakan di Jepang seperti Jalita yang belum lama ini pensiun .  Jadi kalau melihat sepintas terasa sangat mirip. Hanya saja ada sejumlah perbedaan yang begitu terasa sehingga kita sering bergumam pelan, “Ah, pantas saja Jepang dikenal rapi.”

Bayangkan saja, berdiri di peron, menunggu kereta datang, memperhatikan penumpang berbaris rapi dan masuk tanpa saling dorong—rasanya seperti versi upgrade KRL yang kita kenal sehari-hari. Jalurnya juga banyak, transfer antar line juga cukup sering, dan keretanya juga sama-sama menjadi nadi kehidupan kota. Tetapi di balik kemiripan itu, ada detail-detail kecil yang membuat pengalaman naik kereta di Osaka menjadi cerita tersendiri. 


Ada  Pas Harian

Kalau di Jabodetabek  tarif KRL tergantung jauh dekat mulai IDR 3.000 sampai 11.000, di Osaka pun  tarifnya berdasarkan jarak, sehingga sekali naik bisa berbeda tergantung destinasi. Naik hanya satu atau dua stasiun mungkin sekitar ¥190–¥300, tapi semakin jauh bisa ¥500 atau bahkan lebih.

Namun yang menyenangkan adalah adanya pilihan tiket hemat:

  • One-Day Pass: bisa digunakan berkali-kali dalam satu hari.

     Weekend hanya ¥620, sedangkan weekday ¥820. Sangat cocok untuk turis yang ingin keliling banyak tempat tanpa dihitung jarak lagi.

  • Bisa juga pakai ICOCA / Pasmo / Suica, yang cara pemakaiannya mirip kartu elektronik E-Miney atau Tap Cash di KRL, tinggal tap masuk dan tap keluar.

Bedanya lagi, di mesin tiket maupun gate pembayaran kartu kredit bisa dipakai langsung, jadi kalau dompet kehabisan cash, tidak perlu panik mencari ATM.


Petunjuk Rute Sangat Membantu

Jika di Jabodetabek kita terbantu dengan peta  dan papan petunjuk arah, di Osaka kita akan menemui sesuatu yang lebih detail:

Setiap stasiun dan kereta menampilkan rute real-time lengkap dengan estimasi waktu kedatangan per menit. Ada layar besar yang menunjukkan posisi kereta saat ini, jalur yang akan dilewati, dan berapa menit lagi tiba di stasiun tujuan.

Petunjuk arah seperti di MRT Jakarta, tetapi jauh lebih lengkap:

  • Peta routing yang jelas, warna jalur yang konsisten.

  • Petunjuk transfer antar line, lengkap dengan arah jalur kanan atau kiri.

  • Informasi posisi gerbong mana yang paling dekat dengan tangga, lift, atau eskalator.

Di dalam kereta, display digital bergantian menampilkan informasi dalam bahasa Jepang, Inggris, Cina, dan Korea. Speaker pengumuman juga menggunakan dua bahasa: Jepang dan Inggris—cukup membantu jika masih sering bingung membaca kanji.


Penumpang yang Tertib dan Sopan

Perbedaan mencolok lainnya adalah budaya penumpang.

Jika di KRL kita kadang masih melihat penumpang berebut masuk sebelum penumpang yang turun keluar, maka di Osaka suasananya jauh lebih hening. Penumpang kebanyakan sangat menghormati ruang publik. Bahkan saat kereta penuh, tetap hening seperti perpustakaan.

Menggunakan HP pun sebatas mengetik atau membaca, hampir tidak ada yang melakukan panggilan suara. Kalau ada yang harus menelepon, biasanya mereka turun dulu atau menepi di luar gerbong.

Kebiasaan memberi tempat duduk juga sangat kuat. Area prioritas untuk lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas, atau orang dengan anak kecil benar-benar dipatuhi tanpa perlu petugas menegur.


Konektivitas Hingga ke Bandara

Kereta di Osaka juga terhubung langsung ke Kansai International Airport, mirip KRL yang bisa mencapai Bandara Soekarno-Hatta tetapi dengan akses yang lebih mulus. Tidak perlu naik Kalayang lagi dari stasiun menuju terminal—langsung turun di terminal dan tinggal jalan mengikuti petunjuk arah..


Teknologi yang Lebih Maju

Di Osaka kita juga bisa menemukan sesuatu yang belum tersedia di Jabodetabek: face recognition gate. Sistem ini memungkinkan penumpang masuk stasiun hanya dengan pemindaian wajah—tanpa tiket, tanpa kartu, tanpa handphone. Cukup daftar wajah di mesin, lalu tinggal melenggang masuk.

Selain itu:

  • Banyak vending machine di station , bisa beli minuman sambil menunggu kereta. Tapi tidak boleh diminum di dalam gerbong.

  • Banyak mesin tiket otomatis untuk isi ulang Pasmo / Suica / ICOCA. İsi ulang di dalam peron sehingga yang saldo kurang bisa isi.

  • Tap pembayaran benar-benar cepat dan akurat, tidak ada error sensor yang harus diulang-ulang. Nah ini yang paling beda di Jabodetabek kadang sensornya lebih lama.


Stasiun yang Ramah Semua Orang

Hal lain yang terasa berbeda adalah akses. Hampir setiap stasiun di Osaka:

  • Lantainya rata, tidak ada tinggi rendah yang menyulitkan kursi roda.

  • Ada jalur khusus pengguna kursi roda, lansia, atau orang dengan tongkat.

  • Ada penanda garis warna untuk jalur kiri dan kanan agar tidak bertabrakan.

  • Di stasiun tertentu, ada pembatas peron seperti MRT untuk keamanan.
  • Sangat terasa ramah untuk penyandang disabilitas dan lift selalu berfungsi alias jarang rusak. 

Semua terasa seperti sudah dipikirkan detailnya, dari arah kedatangan kereta sampai posisi terbaik berdiri agar tidak menghalangi jalan orang lain.

Namun di Jabodetabek pun saya sering melihat petugas yang sangat membantu terutama buat penumpang tuna netra. Di Os saya belum melihat penumpang tuna netra, namun sering penumpang dengan kursi roda yang belum pernah saya lihat di Jabodetabek karena masih banyak stasiun yang belum kompatibel.


Mengelola Banyak Jalur & Transfer

Kalau jalur KRL Jabodetabek terasa rumit dengan banyak cabang, Osaka bisa membuat kita tersenyum kecil: ternyata lebih banyak lagi.

Ada JR Line, Osaka Metro, Hankyu, Hanshin, Kintetsu, dan Nankai. Tapi justru dengan petunjuk arah yang jelas, semua terasa sangat sistematis.

Transfer antar jalur memang membutuhkan jalan kaki sampai beberapa puluh meter, kadang naik eskalator beberapa kali, tapi jalurnya jelas sehingga tidak membuat bingung selama melihat tanda-tanda.

Yang penting cuma satu: ikuti anak panah.


Kesimpulan yang Menghangatkan Hati

Naik kereta di Osaka sebenarnya tidak jauh berbeda dari naik KRL di Jabodetabek. Prinsipnya sama: tap masuk, tunggu, naik, tap keluar. Tetapi perbedaannya ada pada detail kecil yang membuat pengalaman terasa benar-benar menyenangkan: kebersihan, keheningan, keteraturan, kejelasan informasi, dan akses teknologi.

Tidak ada yang rumit. Tidak ada yang berteriak. Tidak ada yang rebutan pintu tiba-tiba. Semua berjalan seperti orkestra sunyi yang teratur.

Dan ketika pintu kereta menutup, suara deru rel terasa seperti kalimat yang layak diingat:

Transportasi yang baik bukan hanya soal berpindah tempat, tapi bagaimana menghargai ruang bersama.

Mungkin ini  pelajaran sederhana yang bisa kita bawa pulang dari Osaka—dan semoga bisa menjadi inspirasi untuk perbaikan di Jabodetabek atau kota lain di Indonesia.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Create a new perspective on life

Your Ads Here (365 x 270 area)
Latest News
Categories

Subscribe our newsletter

Purus ut praesent facilisi dictumst sollicitudin cubilia ridiculus.